Rabu, 24 Februari 2010

softskill untuk dunia kerja

Soft Skill dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia Indonesia


KONTRIBUSI SOFT SKILL DALAM PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA
(Studi Kasus Di D3 STIKS Tarakanita)

Sungguh mengagetkan dunia pendidikan di Indonesia ketika diumumkan hasil penelitian dari Harvard University, Amerika Serikat (AS). Penelitian itu mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill), tetapi oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 % dengan hard skill dan sisanya 80 % dengan soft skill

Oleh: Sr. Yustiana, CB

1. Situasi Bangsa dan Tantangan Menyiapkan Sumber Daya Manusia

Perkembangan dari era industri ke era informasi membawa perubahan yang berarti. Laju informasi yang begitu cepat membawa perubahan ke arah positif dan negatif, positip karena banyak kemudahan yang dapat diperoleh manusia, segala informasi yang diperlukan dapat dengan mudah dan cepat diperoleh. Disisi lain justru merusak manusia karena informasi yang tidak sehat dan merusak mentalitas. Akhirnya kematangan sebuah bangsa dalam memilih, mengolah, memaknai, dan memanfaatkan informasi sangat dipentingkan. Paradigma pendidikanpun mengalami pergeseran dari era industri menuju era informasi [1]. Pendidikan dimaksudkan sebagai penyiapan sumber daya manusia untuk menjadikan bangsa bermartabat. Pendidikan menentukan kemajuan bangsa atau sebaliknya kemajuan bangsa bisa ditengok dari sejauh mana kemajuan bangsa tersebut dicapai di bidang pendidikan khususnya. Sehubungan dengan hal tersebut. Refleksi mendalam yang perlu dilakukan adalah pendidikan yang semacam apakah yang mampu meningkatkan sumber daya bangsa menjadi semakin bermartabat.

Sungguh mengagetkan dunia pendidikan di Indonesia ketika diumumkan hasil penelitian dari Harvard University, Amerika Serikat (AS). Penelitian itu mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill), tetapi oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 % dengan hard skill dan sisanya 80 % dengan soft skill.[2] Buku berjudul: Lesson From The Top karangan Neff dan Citrin (1999) memuat sharing dan wawancara 50 orang tersukses di Amerika: mereka sepakat yang paling menentukan kesuksesan bukanlah keterampilan teknis melainkan kualitas diri yang termasuk dalam keterampilan lunak (softskills) atau keterampilan berhubungan dengan orang lain (people skills).

Hasil survai Majalah Mingguan Tempo tentang keberhasilan seseorang mencapai puncak karirnya karena memiliki karakter: mau bekerja keras, kepercayaan diri tinggi, mempunyai visi ke depan, bisa bekerja dalam tim, memiliki kepercayaan matang, mampu berpikir analitis, mudah beradaptasi, mampu bekerja dalam tekanan, cakap berbahasa inggris, dan mampu mengorganisir pekerjaan[3]. Kalau realitas ini kita jadikan acuan untuk melihat pendidikan di Indonesia memprihatinkan. Pendidikan kita ternyata masih berkutat gaya hard skill Ketidak mampuan memberikan pendidikan soft skill mengakibatkan lulusan hanya pandai menghafal pelajaran dan sedikit punya keterampilan ketika sudah di lapangan kerja. Mereka akan menjadi mesin karena penguasaan keterampilan tetapi lemah dalam memimpin. Mereka merasa sudah sukses kalau memeliki keterampilan, padahal membuat jejaring juga merupakan bagian tidak terpisahkan dalam suatu pengambangan diri

Sony Gunawan dari Yogya Departemen Store menyampaikan hal itu pada diskusi ”Relevansi Softskill dengan Kebutuhan Dunia Kerja” yang diselenggarakan Universitas Widyatama. Sony memaparkan, ketersediaan lulusan (supply) dengan keterserapan dunia kerja/usaha terhadap lulusan tersebut (demand) saat ini, sangat tidak seimbang. Akibatnya, banyak lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Untuk memperoleh lulusan yang siap kerja, dunia usaha yang dikelola Sony, menetapkan sistem seleksi dengan menggunakan tes spiritual quotient (SQ). Tes tersebut memenuhi kebutuhan IQ maupun EQ calon karyawan, bahkan indikasinya cenderung baik dan peserta tes dapat bekerja sama[4]. Jika seseorang mempunyai kedua kompetensi itu, silakan dengan terbuka merebut kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan perlakuan dalam bekerja.[5]

Survei kepada 457 pemimpin, tentang 20 kualitas penting seorang juara. Hasilnya berturut-turut adalah kemampuan komunikasi, kejujuran/integritas, kemampuan bekerja sama, kemampuan interpersonal, beretika, motivasi/inisiatif, kemampuan beradaptasi, daya analitik, kemampuan komputer, kemampuan berorganisasi, berorientasi pada detail, kepemimpinan, kepercayaan diri, ramah, sopan, bijaksana, indeks prestasi (IP >= 3,00), kreatif, humoris, dan kemampuan berwirausaha. IP yang kerap dinilai sebagai bukti kehebatan mahasiswa, dalam indikator orang sukses tersebut ternyata menempati posisi hampir terakhir, yaitu nomor 17.[6]

Sejalan dengan pengertian di atas, menurut UNESCO, tujuan belajar yang dilakukan oleh peserta didik harus dilandaskan pada empat pilar yaitu learning how to know, learning how to do, learning how to be, dan learning how to live together. Dua landasan yang pertama mengandung maksud bahwa proses belajar yang dilakukan peserta didik mengacu pada kemampuan mengaktualkan dan mengorganisir segala pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masing-masing individu dalam menghadapi segala jenis pekerjaan berdasarkan basis pendidikan yang dimilikinya (memilik Hard Skill). Dengan kata lain peserta didik memiliki kompetensi yang memungkinkan mereka dapat bersaing untuk memasuki dunia kerja. Sedangkan dua landasan yang terakhir mengacu pada kemampuan mengaktualkan dan mengorganisir berbagai kemampuan yang ada pada masing-masing individu dalam suatu keteraturan sistemik menuju suatu tujuan bersama. Maksudnya bahwa untuk bisa menjadi seseorang yang diinginkan dan bisa hidup berdampingan bersama orang lain baik di tempat kerja maupun di masyarakat maka harus mengembangkan sikap toleran, simpati, empati, emosi, etika dan unsure psikologis lainnya. Inilah yang disebut dengan Soft Skill.

Karya pelayanan pendidikan Kongregasi Suster-suster CB mencita-citakan sebuah pendidikan yang mengembangkan softs skiil yang disebut dengan Cc5. C (Compassion) mencintai dengan tulus hati dan berbela rasa sebagai pusat yang memayungi (c) yang lain. Sedangkan Cc5 adalah sebagai berikut , mengandalkan Allah Sebagai Sumber Hidup (Celebration)

memperjuangkan kehidupan sesuai dengan harkat dan martabat manusia (Competence), rela berbagi hidup dan membangun persaudaraan sejati (Community), mengembangkan kreativitas dan kemampuan (Creativity) berani dan tangguh menghadapi tantangan hidup, serta terbuka menanggapi tanda-tanda jaman (Conviction).[7]

Dalam melaksanakan karya pelayanan pendidikan Suster-suster CB mengemban misi Gereja tentang pendidikan Katolik yaitu pertama, pengakuan tentang martabat pribadi dari setiap manusia dan hak atas pendidikan. Kedua, hak dan tanggung jawab orang tua atas pendidikan anak-anaknya sendiri[8] Dalam amanat tersebut tertulis dengan jelas bahwa kepentingan manusia yang mempunyai hak atas pendidikan mendapat perhatian khusus. Perkembangan paham ini semakin meneguhkan bahwa manusia diciptakan menurut citra Penciptanya[9] karena itu layak dihormati dan dihargai. Manusia sebagai ciptaan begitu “kecil”, dibanding ciptaan lainnya, justru menimbulkan kekaguman yang luar biasa, menakala manusia menyadari betapa Allah mengaruniakan martabat yang tinggi[10]. Oleh karena pendidikan dimana pun senantiasa memusatkan perhatian pada manusia, maka proses pendidikan merupakan proses humanisasi, artinya pemanusiaan manusia.

Konsili Vatikan ke II menegaskan bahwa pada dasarnya hidup religius merupakan panggilan terhadap pelayanan kerasulan; karena itu konsili meminta agar setiap religius dalam hidupnya diresapi semangat merasul [11]. Kerasulan yang dilaksanakan oleh kongregasi adalah merupakan upaya kongregasi untuk turut mengambil bagian dalam perutusan Gereja [12], misalnya ikut serta mengembangkan pelayanan menurut kemampuan dan kekhasan masing-masing lembaga. Seluruh anggota kongregasi bersama mitra kerasulan supaya merefleksikan dan mendalami arah kerasulan sesuai dengan visi dan misi Kongregasi, kongregasi menugasi yayasan untuk menyiapkan kader-kader awam, kongregasi menugasi karya milik kongregasi agar melakukan evaluasi terhadap karya kerasulan[13]

Karya pelayanan pendidikan Kongregasi CB mewujudkan program Pendidikan Nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 45.[14] Pencerdasan bangsa tersebut juga digariskan dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional 2003[15] bagian ketentuan umum tentang pentingnya peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya menjadi pribadi yang cerdas, berakhlak dan terampil mengelola kehidupannya dan demi kepentingan masyarakat, bangsa serta negara[16]. Dengan kata lain, melalui pendidikan terjadi proses pemanusiaan manusia.

Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretari Tarakanita merupakan salah satu karya pelayanan yang dikelola Kongregasi Suster-suster Carolus Borromeus, sebagai pencetak tenaga sekretaris andal dengan mengedepankan aspek soft skill sebagai langkah strategis. Dalam buku pancawindu dikatakan bahwa, “Tidaklah terlalu mengada-ada bila ada yang mengatakan, di balik kesuksesan sebuah perusahaan, pasti ada seorang sekretaris yang andal. Seorang sekretaris yang bukan sekadar berlaku sebagai ”juruketik”, melainkan yang mengatur segala lalu lintas bisnis perusahaan tersebut—sebuah keterampilan yang hanya bisa dijalankan oleh seseorang yang benar-benar terlatih, smart, berwawasan luas, dan berkarakter.” [17] Peran-peran yang berkaitan dengan administrasi dan klerikal semakin mengecil dan tergantikan oleh peran-peran manajerial dan bidang pemrosesan informasi, pengelolaan waktu, komunikasi, dan human relation yang menuntut kemampuan berpikir, kematangan emosi, dan interpersonal skill, yang didukung oleh kemampuan yang profesional

Menghasilkan tenaga sekretari yang mumpuni dan berkarakter tentu bukan perkara gampang. Dan, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretari Tarakanita telah membuktikan hal itu. Perjalanan selama empat puluh tahun telah ditempuh dengan aneka rasa kisah yang mengiringinya. ”Hidup dimulai pada usia empat puluh,” begitu bunyi sebuah kalimat bijak yang telah diakui keabsahannya oleh dunia—tak terkecuali di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretari Tarakanita. Selama rentang pancawindu itu pulalah lembaga pencetak tenaga sekretari ini mencoba berkarya: mendidik, melatih, dan membentuk karakter sekretari Indonesia agar menjadi sumber daya manusia yang bermutu tinggi, unggul dalam hal soft skill, profesional, bermoral, dan berwawasan global

Pandangan Para Ahli tentang Soft Skill

Hardskill menggambarkan perilaku dan keterampilan yang dapat dilihat mata (eksplisit). Hardskill adalah skill yang dapat menghasilkan sesuatu sifatnya visible dan immediate.[18] Menurut Fachrunnisa, kemampuan hardskill adalah semua hal yang berhibungan dengan pengayaan teori yang menjadi dasar pijakan analisis atau sebuah keputusan. Hardskill dapat dinilai dari technical test atau practical test. Menurut Santoso dan Fachrunissa, ellemen hardskill dapat terlihat dari intelligence quotion thinking yang mempunyai indikator kemampuan menghitung, menganalisa, mendisain, wawasan dan pengetahuan yang luas, membuat model dan kritis[19].Softskill merujuk kepada indikator seperti kreativitas, sensitifitas, intuisi yang lebih terarah pada kualitas personal yang berada di balik prilaku seseorang.

Soft Skill menurut sumber lain adalah , ”A sociological term which refer to the cluster of perdonality traits, social graces, facilty with language, personal habits, frendliness, and optimism that mark people to varying degress. Soft skill complement hard skills, which are technical requirement of o jobPersonal Qualities (Kualitas Individu): Responbility (Bertanggungjawab), sociability (Berjiwa social), self-management (Manajemen diri), integrity (Integritas), honesty (kejujuran). Interpersonal Skill (Keterampilan Interpersonal): Participates as member of the team (Berpartisipasi sebagai anggota tim), teaches others (Mendidik orang lain), serves client/customers (Melayani klien), exercise leadership (Melatih Kepemimpinan), negotiates (kemampuan bernegoisasi), works with cultural diversity (Bekerja dengan pendekatan budaya) .

Interpersonal skill mencakup beberapa kemampuan, kemampuan seseorang dalam menghangatkan hubungan, membuat pendekatan yang mudah, membangun hubungan secara konstruktif, menggunakan diplomasi dan teknik untuk mencairkan situasi yang sedang tegang, menggunakan gaya yang dapat menghentikan permusuhan[20]. Thomas F. Mader dan Diane C. Mader , membedakan antara impersonal dan interpersonal communication. Komunikasi impersonal masing-masing saling memahami namun tidak ada keterlibatan emosi, interpersonal punya kualitas kedekatan yang lebih tinggi dari impersonal. Interpersonal adalah komunikasi antara dua orang atau lebih masing-masing punya keterlibatan emosi dan komitmen dalam menjalin hubungan[21]. Interpersonal skill adalah kemampuan dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Dalam teori kompetensi, keahlian interpersonal diartikan sebagai keinginan untuk memahami orang lain[22]

Jika mahasiswa mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi, maka mahasiswa tersebut mempunyai kemampuan kualitas personal dan interpersonal yang tinggi pula. Kualitas personal dan interpersonal pada hakekatnya adalah karakter. Berthal menurut Sailah illah mendefinisikan demikian,“personal and interpersonal behaviors that develop and maximize human performance (e.g. coaching, team, building, decision making, initiative). Soft skill, such as financial, computer or assembly skills”[23]

Ada dua kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan mengembangkan kepribadian yaitu: Kecerdasan Interpersonal (interpersonal Intelligence) adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain. Kepekaan akan ekspresi wajah, suara dan gerak tubuh orang lain (isyarat), dan kemampuan untuk menjali relasi dan komunikasi dengan berbagai orang lain Kecerdasan Intrapersonal (intrapersonal intelligence) adalah kemampuan memahami diri dan bertindak adaptif berdasarkan pengetahuan tentang diri. Kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri, kesadaran diri tinggi, inisiatif dan berani.[24]

Menurut studi yang pernah dilakukan Philip Humbret (1996)[25], hampir semua pemimpin di dunia punya keahlian interpersonal yang bagus. Salah satu buktinya adalah kemampuan mereka dalam menjaga hubungan yang cukup lama dengan kenalan, sahabat, dan mitranya. Orang-orang yang prestasinya bagus di bidangnya juga rata-rata punya keahlian interpersonal yang bagus. Mereka mampu menjaga kesepakatan, menjaga perasaan, menghormati orang lain, menempatkan orang lain. Menurut hasil telaahnya Abraham Maslow seperti yang dikutip dalam buku Journey of Adulthood (1996), sebagian cirri orang-orang orang yang telah atau sedang mengaktualkan diri, memiliki potensi: deep loving relationship (hubungan yang mendalam), punya privasi tetapi tidak angkuh, punya humor tinggi yang mengandung pelajaran.[26]

Karya pelayanan pendidikan Kongregasi Suster-suster Carolus Borromeus (CB) yang salah satu karyanya mengelola Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretari Tarakanita mengembangkan aspek-aspek soft skill, aspek-aspek pokok tersebut adalah: mencintai dengan tulus hati dan berbela rasa (Compassion), mengandalkan Allah sebagai Sumber Hidup (Celebration), memperjuangkan kehidupan sesuai dengan harkat dan martabat manusia (Competence), rela berbagi hidup dan membangun persaudaraan sejati dengan yang lain (Community), mengembangkan kreativitas dan kemampuan (Creativity), berani dan tangguh menghadapi tantangan hidup, serta terbuka menanggapi tanda-tanda jaman (Conviction), dan yang disingkat dengan Cc5. Aspek-aspek tersebut bersumber pada kasih Allah yang berbela rasa (Compassion). Karena itu, Compassion menjiwai kelima aspek lainnya. Keenam aspek tersebut yang menjadi sarana dalam upaya mewujudkan pembentukan pribadi yang utuh dan berbelarasa[27].

2. Pendidikan yang Dikelola Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus dan Penekanan Soft Skiil

Karya pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh Kongregasi CB merupakan bagian dari misi Gereja. Dengan demikian pelayanan pendidikan Kongregasi juga membawa serta misi sekolah Katolik. Dalam mengemban tugas perutusan tersebut, pelayanan pendidikan Kongregasi berpartisipasi dalam misi apostolik Gereja, dengan bersumber pada kekuatan spiritualitas pendiri Kongregasi. Oleh karena itu, visi – misi Kongregasi menjadi sumber inspirasi dalam melaksanakan seluruh karya pelayanan yang diselenggarakan oleh suster-suster CB, termasuk di dalamnya karya pelayanan pendidikan.

Sejarah karya pelayanan pendidikan Kongregasi CB dilatarbelakangi oleh pengalaman pribadi Bunda Elisabeth pendiri Kongregasi dalam menghadapi situasi kota Maastricht (Belanda) dan sekitarnya. Revolusi Perancis menimbulkan penderitaan dan kemiskinan. Maastricht menjadi kota tertutup. Dalam situasi demikian, bunda Elisabeth tergerak untuk menanggapi keprihatinan masyarakat dengan memberikan pendidikan kepada anak-anak miskin dan terlantar di rumah pertama di jalan Lenculen.

Pada tahun-tahun selanjutnya pelayanan pendidikan berkembang. Hal ini ditandai dengan didirikannya sejumlah sekolah di kota-kota lainnya, bahkan sampai ke tanah misi, yaitu Indonesia. Pada tahun 1918 sepuluh suster datang ke Indonesia untuk menanggapi undangan dari Vikaris Apostolis Batavia untuk menangani karya kesehatan yang dimulai di RS Carolus.

Karya pelayanan pendidikan Kongregasi CB di Indonesia, dimulai di Bengkulu atas undangan Pastor Neilen, SCJ melalui suratnya tertanggal 10 Agustus 1929. Bengkulu terletak di pantai barat Sumatera. Sulitnya sarana transportasi, komunikasi, dan jarak yang jauh dengan kota lain menjadikan kota tersebut terisolasi. Akibatnya, perkembangan masyarakat termasuk pendidikan mengalami hambatan. Di tempat yang sulit dan terbelakang inilah karya pelayanan pendidikan Kongregasi dirintis pertama kali di bumi Indonesia. Dalam perjalanan waktu, karya pelayanan pendidikan ini berkembang ke Lahat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jakarta, Surabaya, dan Tangerang yang seluruhnya berjumlah 62 unit sekolah dan satu perguruan tinggi. Di Jakarta mengelola 18 unit dari Pendidikan Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas dan satu perguruan tinggi yakni Sekolah Tingi Ilmu Komunikasi dan Sekretari Tarakanita (STIKS).

Konsili Vatikan II dalam deklerasinya tentang Pendidikan Kristen, Gravissimum Educationis, menilai pendidikan sebagai hak dasar setiap manusia yang tidak dapat diganggu gugat. Hak atas pendidikan itu didasarkan pada kesadaran bahwa setiap manusia memiliki martabat pribadi yang harus dikembangkan[28]. Pengembangan ini harus terjadi secara integral, meliputi semua aspek fisik, moral, intelektual, perasaan tanggungjawab serta aspek sosial dalam kehidupan bersama. Konsili mengharapkan agar para pengelola pendidikan tetap menjunjung tinggi nilai luhur pendidikan itu. Oleh karena itu, Konsili memohon agar mereka semua yang memimpin bangsa-bangsa atau yang membawahi pendidikan berusaha supaya angkatan muda tidak dikebiri haknya yang sugi[29]. (bdk. GE 1)

Dengan demikian, pelayanan pendidikan kongregasi didasari oleh pertama, keinginan para suster untuk mengemban misi penyadaran (conscientitation), atau pemerdekaan dan memanusiakan. Melalui pendidikan diharapkan orang kian sadar akan jati diri dan asal usul, dunia dan lingkungan alam sosil, serta tanggungjawabnya. Singkatnya, pendidikan dimaksudkan membawa orang pada kesadaran insani. Dengan demikian kemampuan untuk memilih mesti menjadi prioritas. Artinya, apapun keputusan sikap seseorang dalam kaitan dengan kesadaran akan jati diri, dan lain-lain dipilih sendiri. Dengan lain kata, pendidikan mendorong manusia untuk menjadi lebih otonom. Manusia otonom adalah manusia yang tidak membebek, mampu berfikir sendiri dan bertindak berkat kekuatan nalar pribadi dan semangatnya yang kritis, namun tetap bermartabat, Kedua, keinginan para suster untuk membantu seseorang hidup sebagai manusia (hominisasi) dan hidup secara manusiawi (humanisasi). Dengan demikian pelayanan pendidikan harus membantu orang memperoleh perkembangan pribadi yang utuh, dewasa, integral dalam semua aspek pribadinya. Melalui pendidikan seseorang harus dibantu untuk hidup sebagai manusia yang berbudaya, yang tahu akan tata adab, serta mampu membuat pertimbangan-pertimbangan etis. Ia juga tahu menempatkan diri dan mengambil sikap yang tepat dalam situasi tertentu. Demikianlah artinya untuk zaman ini, jika Bunda Elisabeth mengatakan, “membangun dasar baik dalam hati orang-orang muda dan bagaimana mencintai Allah”.

a. Mencintai dengan Tulus Hati dan Berbela Rasa (Compassion)

Hidup manusia menemukan maknanya kalau manusia membuka diri kepada yang Transenden dan membangun solidaritas dengan sesama. Bentuk solidaritas yang paling kuat adalah kalau manusia dapat mencintai sesamanya. Maka ajaran tentang cinta kepada sesama merupakan hal yang mendasar dari semua agama.

Kasih yang tulus dan berbela rasa itu juga diharapkan hidup, berkembang dan berbuah dalam komunitas pendidikan. Kita sering menjumpai orang-orang yang miskin dan menderita di lingkungan masyarakat, tak terkecuali di lingkungan pendidikan. Perjumpaan dan kepedulian kita kepada mereka yang kita layani merupakan panggilan untuk mewujudkan karya cinta kasih dan pembebasan[30]. Solidaritas berarti ikut serta ambil bagian di dalam bentuk-bentuk penderitaan manusia. Solidaritas merupakan inti dari perjumpaan kasih Allah kepada kita dan kasih kita kepada-Nya.

b. Mengandalkan Allah sebagai Sumber Hidup (Celebration)

Sikap percaya merupakan unsur penting dalam hidup kita. Sikap percaya dibangun melalui relasi dengan orang lain. Demikian juga dalam relasi dengan Allah. Kita berani mengandalkan hidup ditangan Allah karena kita percaya. Dengan menerima hidup sebagai anugerah, kita percaya dan mengakui bahwa Allah adalah Sang Pemberi hidup[31].

Dengan demikian kita diajak untuk menyadari bahwa situasi hidup apapun dapat membawa kita kepada kesatuan dengan Allah, jika kita dengan penuh kepercayaan menyadari bahwa Allah bekerja dan menuntun kita hari demi hari (bdk EG 65). Inilah bentuk kasih setia Allah yang perlu kita rayakan dengan penuh rasa syukur, bukan hanya melalui kata-kata, melainkan melalui keteladanan hidup. Seperti pelita yang diletakkan di atas gantang, demikian kita dipanggil untuk memancarkan kesaksian akan Allah yang hidup, dan mendekatkan diri pada Tuhan dan sesama.

c. Mengembangkan Keahlian dan Keterampilan di Bidangnya untuk Hidup Sesuai dengan Martabat (Competence)

Sepanjang sejarah dan dimana saja manusia pada dasarnya menghormati kehidupan. Bagi Allah, kehidupan, khususnya hidup manusia, amat berharga. Setiap pribadi manusia berharga di hadapan Allah. Kita percaya akan Allah yang mencintai dan membela kehidupan. Berbagai penyakit, teror, penindasan, kekerasan, pembunuhan, peperangan, dan bencana alam merupakan kenyataan yang mengancam dan merendahkan harkat dan martabat hidup manusia. Oleh karena itu, hidup harus dilindungi dan dibela.

Pendidikan merupakan salah satu sarana yang membantu manusia dalam mengembangkan akal budi, perasaan, hati nurani, kehidupan sosial, dan kerohanian sehngga ia bertumbuh menjadi pribadi utuh dan seimbang.

Tujuan pendidikan sebagaimana diuraikan di atas juga menjadi nafas yang melandasi Kongregasi dalam karya pelayanan pendidikan. Bunda Elisabeth, mampu menangkap keprihatinan Allah untuk melindungi dan membela harkat dan martabat manusia, khususnya melalui anak-anak miskin dan terlantar dengan tujuan membangun dasar baik dalam batin mereka, memberikan pelajaran agama Kristen, menjahit, berdoa, serta memberikan dorongan ke arah semangat hidup yang suci[32][33] (EG 51). Dengan demikian nilai pendidikan yang diperjuangkan oleh Bunda Elisabeth mencakup beberapa aspek kecakapan seperti: kemampuan spiritual (spiritual question), berfikir rasional (intellectual question), sosial (social question), kemampuan emosional (emosional question) dan kemampuan daya juang (adversity question).

Aspek-aspek kecakapan tersebut di atas, perlu mendapatkan perhatian secara seimbang dalam seluruh proses pembelajaran, sehingga berkembang secara seimbang, dan terintegrasi secara nyata tercermin dalam perilaku hidup sehari-hari.

Sebagai komunitas pendidikan, kita mempunyai peranan yang besar dalam membela dan melindungi harkat dan martabat manusia. Keterlibatan kita demi kepentingan yang miskin, lemah, dan menderita akibat ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan, merupakan wujud solidaritas kita. Solidaritas ini bertujuan untuk menghidupkan harapan, kepercayaan mereka yang kita layani, dan menampakkan belas kasih Kristus [34].

d. Rela Berbagi Hidup dan Membangun Persaudaraan Sejati (Community)

Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia perlu menjaga relasi yang seimbang, bukan hanya dengan sesama, melainkan juga dengan lingkungan alam di sekitarnya. Melalui relasi itu, pengalaman akan Allah dijumpai di antara dan melalui satu sama lain, misalnya dalam makan bersama, sharing bersama, dan bekerjasama. Keseimbangan relasi merupakan tanggungjawab bersama, yang dapat terwujud melalui semangat saling berbagi dan membangun persaudaraan sejati. Karya pelayanan pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam menjaga keseimbangan relasi kita dengan sesama dan alam sekitar. Melalui pendidikan kita membagikan ilmu pengetahuan dan keterampilan, memberikan pendampingan, mengembangkan semangat untuk berbagi hidup kepada yang lain, mengabdikan diri kepada sesama, dan membangun persaudaraan sejati. Melalui karya pelayanan pendidikan kita juga dipanggil untuk menjadi pelaku pemersatu bagi mereka yang terpecah-belah, pendamai bagi mereka yang berselisih, penghibur bagi mereka yang berduka, dan pembawa harapan bagi mereka yang berputus asa.

e. Mengembangkan Kreativitas dan Kemampuan (Creativity)

Hidup manusia zaman sekarang tidak lepas dari berbagai kesulitan dan persoalan. Dampak negatif Iptek misalnya, menempatkan sebagian besar manusia pada posisi yang sulit dan sering dirugikan. Manusia sering dianggap sebagai mesin produksi. Manusia cenderung dihargai karena kemampuannya menghasilkan sesuatu yang mendatangkan keuntungan besar bagi sekelompok orang. Selain itu, manusia juga dikondisikan untuk tergantung kepada hasil Iptek yang memiliki kecenderungan mengembangkan budaya konsumtif, dan karena kebutuhan yang seolah-olah tak terpuaskan itu, manusia sering kehilangan akal sehatnya, menghalalkan segala cara. Akibatnya, manusia menjadi korban. Manusia sering tidak menghargai dirinya sendiri atau kurang dihargai menurut harkat dan martabatnya sebagai makhluk mulia yang diciptakan secitra dengan Allah.

Jika hal ini terus dibiarkan, cepat atau lambat dunia terancam kehancuran. Dunia dihuni oleh manusia-manusia yang pendendam, egois, licik, mudah putus asa, cepat bosan, kebencian merajalela, persaingan tidak sehat, kembali dalam mentalitas hukum rimba, mengejar untung sendiri, materialistik, tertekan, dan rentan terhadap penyakit. Gejala-gejala demikian sudah kita rasakan di dalam masyarakat kita. Kita mengalami kekaburan dalam memperjuangkan nilai-nilai hidup. Situasi demikian tidak mudah untuk dirubah, apalagi kalau dilakukan secara perorangan.

Salah satu cara agar hidup dialami secara indah dan membahagiakan adalah dengan mengembangkan nilai kreatifitas. Melalui kreatifitas manusia mampu mengatasi segala persoalan hidup. Sebab, manusia dianugerahi Tuhan kemampuan dan bakat-bakat yang penggunaannya harus diarahkan secara benar, bijaksana dan bermakna bagi pengembangan hidup manusia dan seluruh alam semesta. Oleh karena itu, manusia harus mampu memecahkan masalah secara bertanggungjawab, dan berusaha mencari, dan menemukan jalan keluar dari persoalan-persoalan yang ada secara kreatif.


f. Berani dan Tangguh dalam Menghadapi Tantangan Hidup, serta Terbuka Menanggapi Tanda-Tanda Zaman (Conviction)

Dalam hidup sehari-hari, kita selalu menjumpai dan mengalami adanya pergulatan dan tantangan. Pergulatan dan tantangan ini merupakan sarana yang menguji ketangguhan dan keberanian kita. Kadang-kadang, pergulatan dan tantangan itu dialami bukan untuk diri kita sendiri, melainkan demi orang lain. Misalnya, demi mereka yang diperlakukan tidak adil atau yang ditindas dalam masyarakat. Semangat demikian disebut sebagai semangat patriotisme dalam pengertian umum atau semangat martirium dalam pengertian Kristen. Semangat patriotisme atau martirium mencakup sikap-sikap seperti, menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, memperjuangkan nilai-nilai Injili, keadilan, menolak tindakan pelecehan, penindasan dan kekerasan, serta berani menanggung resiko. Orang demikian adalah orang yang mengikuti Kristus pada jalan salib, ambil bagian dalam penderitaan dan memikul luka-luka Kristus dalam dirinya sendiri.

Perubahan zaman yang demikian cepat, membawa dampak baik positif maupun negatif dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Disatu pihak, kita dituntut untuk terus menerus menyesuaikan diri mengikuti perkembangan, tetapi di lain pihak kita juga harus tetap kritis dan selektif dalam menghadapi perubahan itu. Dengan demikian, visi – misi pelayanan pendidikan kita tidak tergeser oleh pengaruh negatif dari perubahan tersebut. Untuk itu, kita dituntut untuk memiliki keberanian dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan yang ada, serta menanggapi tanda-tanda zaman secara bijaksana [35].

3. Sejarah STIKS, Strategi dan Implementasi Pengembangan Softskill Di Sekolah Tinggi Ilmu Komuniasi Dan Sekretari Tarakanita Program Studi D3 Sekretari

a. Sejarah Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretari

Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretari ( STIKS) Tarakanita didirikan oleh Sr. Emmanuella, CB bersama mitra kerasulannya pada 10 Januari 1968. Pada masa awal berdirinya, kegiatan LPK Tarakanita masih menumpang di gedung SMA Tarakanita Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. LPK Tarakanita yang pada masa kemudian berganti nama menjadi Akademi Sekretari (Aksek)/LPK Tarakanita, sejak 1991 sampai sekarang telah menempati kampus sendiri di Real Estate Billy & Moon, Pondok Kelapa, Jakarta Timur.

Sr. Emmanuella, CB adalah seorang biarawati Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus (CB) yang didirikan oleh Elisabeth Gruyters di Maastricht Belanda. Semangat bernyala-nyala Sr. Emmanuella, CB untuk membalas kasih Tuhan diwujudkannya dalam pelayanan penuh bela rasa, khususnya dalam karya pelayanan pendidikan di bidang Kesekretarisan. Dunia sekretaris bagi Sr. Emmanuella, CB merupakan pilihan yang memiliki peluang untuk dikembangkan dalam rangka menanggapi kondisi bangsa pada masa itu—khususnya juga dalam meningkatkan martabat perempuan yang termarjinalkan. Untuk mewujudkan impian tersebut maka Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretari Tarakanita membekali para perempuan muda dengan pengetahuan, keterampilan kerja, serta sikap hidup yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral. Sebuah visi yang harus diakui sangat bernas dan jauh melesat ke masa depan.

Selama rentang pancawindu itu pulalah lembaga pencetak tenaga sekretari ini mencoba berkarya: mendidik, melatih, dan membentuk karakter sekretari Indonesia agar menjadi sumber daya manusia yang bermutu tinggi. Banyak kisah sukses, tapi juga tak sedikit kisah pedih yang telah dilampaui selama ini, baik oleh para mahasiswa, dosen, pimpinan puncak, maupun karyawan. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila untuk menengarai perjalanan ini, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretari Tarakanita mencoba menghimpun kembali segala ingatan dan memori serta merefleksikan perjalanan selama kurun waktu empat puluh tahun. Buah-buah refleksi salah satunya adalah meningkatkan kualitas lulusan dalam kaitanya dengan pengembangan soft skill sebagai sebuah strategi dalam menjawab tantangan zaman.

b. Manajemen Strategi dan Implementasi Pengembangan Softskill di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretari Tarakanita.

1.) Manajemen Strategi Pengembangan Soft Skill


2.) Implementasi Pengembangan Soft Skill melalui Bidang, pengajaran,penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan Kemahasiswaan.
Pengembangan softskills di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretari Tarakanita dilakukan secara integratif dan menyeluruh. Pengembangan softskills tidak hanya sekedar memberikan pelatihan atau kursus softskills, misalnya kursus kepribadian atau teknik komunikasi saja. Pengembangan softskill mahasiswa melalui kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas. Di dalam kelas dengan memberikan mata kuliah yang terkait softskills. Setiap mata kuliah selayaknya berusaha mengembangkan kemampuan softskill mahasiswa melalui metode mengajar yang bisa mengasah softskills mahasiswa. Salah satu yang bisa dikembangkan adalah metode diskusi dan presentasi kelompok.

Pengembangan softskills dalam kaitannya dengan Bidang pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan kemahasiswaan antara lain : Pengembangan diri, Etika profesi sekretaris, Tes psikologi, Bimbingan konseling, pembibingan akademik, Be Plus Week End, Bound to Sinergy, Seminar dan pelatihan, mis: sex and drugs, sex education, travelex, Latihan Kepemimpinanan Mahasiswa (LKM), Leadership, Perilaku Organisasi, Manajemen, Perilaku Profesional, Keterlibatan dalam berbagai organisasi dan Unit Kegiatan Mahasiswa, Outbound, Perkuliahan : komunikasi, lintas budaya, Public Relations, Live in, Praktek kerja industri, Diskusi dab berbagai seminar ilmiah, Table manners.
4. Kesimpulan
a. Di tengah siituasi dan kondisi bangsa yang penuh sulit, selalu ada peluang untuk mencari aktor atau sutradara
suatu perubahan.
b. Strategi pengembangan soft skill sebagai langkah kecil, penting, dan mendesak untuk suatu perubahan.

c. Pengembangan soft skill dilaksanakan dalam kerangka luas, tersistem, terintegrasi, terukur,
dan berkesinambungan.
*Penulis, Anggota pengurus Komdik KWI, pengurus Asosiasi badan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Swasta
Seluruh Indonesia (ABPPTSI), pengurus Perhimpunan Akademi dan Politeknik Katolik Indonesia (PAPKI),
Ketua STIKS Tarakanita, sedang menyelesaikan studi S3 MP, UNJ


[1] Lie Anita, Pendidikandalam Dinamika Global, hal 224, tahun 2004

[2] Sura Merdeka, 4 Oktober 2004

[3] Tempo 20 Mei 2007

[4] Pikiran Rakyat, 30 Mei 2007

[5] Undang-undang kenetagakerjaan No. 12 Tahun 2003

[6] Survai dari National Associatia of College and Employee (NACE) USA 2002

[7] Buku Panduan Karya Pelayanan Pendidikan Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus (CB)

[8] Deklarasi tentang Pendiddikan Kristen artikel 1 dan 3, Konsili Vatikan II 1965

[9] Kitab Suci Perjanjian Lama, Kejadian Bab 1 pasal 27

[10] Mazmur 8 pasal 5

[11] Perfektif Caritatif Pasal 8

[12] Konstitusi Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus

[13] Dokumen Kapitel Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus

[14] Pembukaan Undang-undang Dasar 1945

[15] Undang-Undang Pendidikan 2003

[16] Undang-undang Pendidikan nasional 2003, Bab I, pasal 1

[17] Life Begins Forty iv, 2008

[18] Suharti, Lieli. 2005. Kompetensi Manajerial. FE-UKSW: Salatiga

[19] Fachrunnisa, Olivia. 2006. Pendidikan Berbasis Soft Skill pada Perguruan Tinggi Manajemen

[20] http://www.mocrosoft.com/education/competencies

[21] Understanding One Anothor, Thomas F. Mader & Diane C. Mader, WCB Brown, 1990

[22] Competense At Work, Modells for Superior Performance, Lyle M. Spencer, Jr,. Ph.D & Signe M Spencer, Jhon Wiley & Sons, Inc, Canada 1993

[23] Illah Saillah, Pengembangan Soft Skill di Perguruan Tinggi

[24]Howard Gardner dalam bukunya Multiple Intelegences 1993

[25] tHe Innovative Professsional’s (TIP,s), Philip E, Humbert, Phd, Sunday, August 25, 2002

[26] Journey of Adulthood, Helen L. Bee. Printce Hall, 1996

[27] Pnduan Karya Pelayanan Pendidikan Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus (CB)

[28] Lihat Konsili Vatikan II, Deklarasi tentang Pendidikan Kristen, Gravissimum Educationis, 7

[29] Lihat Konsili Vatikan II, Deklarasi tentang Pendidikan Kristen, Gravissimum Educationis, 1

[30] Kitab Suci Perjanjian Baru, Injil Mateus 25: 35-40.

[31] Buku Kisah Panggilan Pribadi Elisabeth Gruyters, Pendiri Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeua 2007

[33] Buku Kisah Panggilan Pribadi Bunda Elisabeth, Pendiri Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus.

[34] Konstitusi Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus 2008

[35] Direktorium Kongregasi Suster-Suster Cinta kasih Santo Carolus Borromeus, 2008

Senin, 22 Februari 2010